Pages

Rabu, 12 Maret 2014

The Mocha Eyes: Filosofi Kehidupan Dalam Secangkir Mocha



The Mocha Eyes bercerita tentang seorang gadis bernama Muara yang memiliki trauma atas beberapa kejadian menyakitkan dalam hidupnya, hingga membuatnya berubah menjadi gadis yang amat menutup diri. Kejadian menyakitkan itu diantaranya adalah mengalami pelecehan seksual oleh rekan kampusnya, hingga membuatnya harus mengambil cuti dalam waktu cukup lama dari kuliahnya. Muara semakin dihimpit rasa bersalah tak berkesudahan ketika ayahnya harus pergi untuk selamanya karna shock mendengar kabar menyakitkan tentang anak gadis satu-satunya itu. Satu lagi hal yang membuat dunia Muara semakin muram adalah ketika Damar – lelaki yang ia cintai tiba-tiba berpaling pada wanita lain, dengan alasan sikap Muara yang selama ini teramat dingin dan kaku.

gb. diambil dari sini

Judul : The Mocha Eyes
Penulis : Aida M.A
Penyunting : Laurensia Nita
Penerbit : Bentang
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : x+250 halaman



Hari-hari Muara yang suram hanya bertemankan rokok dan kopi hitam pekat, yang membuatnya mampu membuka mata meski baru mampu memejamkan mata diatas pukul tiga dinihari. Kebiasaan itu amat sulit ia hentikan meski ibunya tak henti menasehatinya. Tapi pertemuannya dengan Fariz – seorang trainer, saat ia mengikuti training motivasi dari kantornya merubah sedikit demi sedikit cara pandangnya atas hidup, melalui perumpamaan hidup dengan dalam secangkir mocha.

Menurut saya, novel ini tergolong sebagai perpaduan yang manis antara novel romance dan novel inspiratif. Bahasanya yang ringan dan mudah dipahami, dengan selipan quote-quote manis tentang kehidupan menjadikan novel ini sangat cocok dijadikan teman menyesap kopi dikala senja. Aida MA berhasil menyajikan sebuah cerminan hidup manusia yang seringkali diwarnai banyak kejadian tidak menyenangkan, yang harusnya tak menjadikan kita lantas jatuh dan merusak diri sendiri. Sempat merasa lemah dan rapuh itu manusiawi, tapi kita tak boleh terus-terusan membiarkan diri berada dalam kubang kesedihan tak berujung. Begitu kira-kira hikmah yang bisa diambil dari kisah Muara ini.

Namun, sebuah karya hasil tangan manusia tentu saja sangat lazim memiliki kekurangan. Saya pun mencatat beberapa kekurangan dalam novel The Mocha Eyes. Saat membaca lembar demi lembarnya, saya merasa penggambaran perasaan para tokoh terutama Muara kurang mengena. Saya kurang bisa merasakan betapa terpukulnya Muara setelah kejadian pelecehan tersebut. Kejadian tersebut seperti terlalu tiba-tiba, tanpa ada bagian yang menggiring dengan manis sampai akhirnya terjadilah pelecehan tersebut. Saya juga tidak bisa turut merasakan betapa Muara sangat mencintai Damar hingga membuatnya amat lama tak bersedia membuka hati. Dan satu lagi, Fariz yang merasa sudah berkali-kali bertemu Muara melalui baying-bayang siluet juga menurut saya membuat novel ini kurang natural.

Tapi kekurangan adalah salah satu lading untuk belajar. Ketika tak lagi ada kekurangan, jangan-jangan seseorang malah akan enggan belajar dan sudah merasa puas atas pencapaiannya. Maka, saya tetap berharap Aida MA tidak berhenti menulis, dan menelurkan karya-karya yang semakin bagus dari hari ke hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar