Pages

Minggu, 21 Desember 2014

The Time Keeper: Hikmah Mengapa Tuhan Membatasi Waktu

Judul : The Time keeper (Sang Penjaga Waktu)
Penulis : Mitch Albom
Alih Bahasa : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 312 halaman


“Tidak pernah ada kata terlambat atau terlalu cepat, semuanya terjadi pada waktu yang telah ditetapkan” (Hal. 232)


Jaman sekarang, hidup berkejaran dengan waktu sepertinya sudah menjadi gaya hidup. Slogan ‘waktu adalah uang’ menjadi salah satu slogan yang menjelma menjadi prinsip sebagian orang. Buku-buku bahkan seminar tentang cara mengefektifkan waktu, manajemen waktu, dll menjadi salah satu tema popular yang selalu diminati oleh banyak orang.

Orang-orang berlomba untuk membuat hidup mereka sesibuk mungkin agar dapat meraih pencapaian yang lebih dari yang lainnya. Mereka mengesampingkan kebahagiaan dan ketentraman hati. Tapi semakin banyak yang mereka raih, mereka semakin tidak puas dan terus berharap memiliki jauh lebih banyak waktu lagi untuk membuat pencapaian yang jauh lebih dahsyat lagi.

Tapi apa semua orang seperti itu? Sepertinya tidak. Dunia ini ibarat dua sisi keeping mata uang. Jika ada orang-orang yang selalu haus akan waktu yang jauh lebih banyak, maka di sisi lainnya ada orang-orang yang melihat dunia ini dengan cara yang amat muram. Mereka menganggap bahwa tak lagi ada hal berharga dan menarik yang membuat mereka pantas melewati waktu di dunia ini lebih lama lagi. Mereka berharap waktu akan segera berakhir. Dan ironisnya, hal itu biasanya disebabkan hanya oleh perkara-perkara remeh yang sebenarnya sama sekali tidak sebanding dengan kenikmatan yang diberikan Tuhan untuk masih bisa melewati waktu.

Novel The Time Keeper karya Mitch Albom ini bercerita tentang realita diatas. Adalah Dor, seorang laki-laki yang sejak usianya masih belia sudah sangat tertarik pada perhitungan waktu. Ia adalah orang pertama di dunia yang ‘bisa’ menghitung kapan matahari terbit dan kapan tenggelam. Kapan musim berganti, dll. Ia  mulai melakukannya dengan alat-alat sederhana. Salah satunya dengan tetesan air, juga batu. Hingga saat ia sudah semakin mahir menghitung waktu, ia akhirnya menjadi pemrakarsa terciptanya jam di dunia.

Atas kesukaan dan kemahirannya menghitung-hitung waktu – yang lambat laun mampu  mengubah dunia dan perilaku manusia-manusia di dalamnya, Dor adalah orang pertama yang pernah mengharapkan punya waktu tak terbatas agar ia bisa selalu bersama Alli istri tercintanya, sekaligus pernah menjadi orang yang tak lagi berharap punya waktu setelah Alli meninggal. Dor akhirnya ‘dihukum’. Ia diberi waktu tak terbatas. Usianya tak bertambah sedikitpun, lalu ia ‘dilemparkan’ lagi ke dunia yang sudah sangat jauh dari masanya dulu, dan sangat asing baginya. Dor diberikan sebuah misi untuk memberi pelajaran pada manusia-manusia yang berharap memiliki waktu tak terbatas, dan pada mereka yang berharap tak lagi memiliki waktu sedikitpun.

Dor akhirnya dipertemukan dengan seorang pengusaha sukses dan kaya raya bernama Victor dan gadis belia bernama Sarah. Victor mewakili kubu orang yang haus akan waktu dan terus berharap memiliki waktu tak terbatas. Sedangkan Sarah mewakili kubu orang yang berharap waktu berhenti.

Victor mengidap sebuah penyakit yang membuatnya tak lagi memiliki banyak waktu. Dokter sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk menyembuhkan Victor. Yang masih bisa dilakukan hanyal melakukan cuci darah untuk setidaknya mengulur waktu, meski mungkin tak seberapa. Dan Victor tidak puas dengan itu. Sifatnya yang ambisius dan tidak mudah puas membuatnya ingin ‘mengakali’ takdirnya. Ia mengerahkan segala daya dan upayanya, dengan melibatkan para peneliti, untuk bisa dihidupkan lagi suatu saat. Ya, Victor berusaha untuk mengakali takdir kematiannya sendiri.



“Selalu ada pencarian untuk mendapatkan lebih banyak menit, lebih banyak jam, kemajuan lebih cepat untuk menghasilkan lebih banyak setiap harinya. Kebahagiaan sederhana dalam menjalani hidup antara dua matahari terbit tidak lagi dirasakan” (Hal. 290)


Sedangkan Sarah, seorang gadis dengan wajah dan bentuk tubuh kurang menarik, tidak memiliki banyak teman dan pergaulan, untuk pertama kalinya jatuh cinta pada temannya yang bernama Ethan. Ia merasa amat senang ketika Ethan bersikap baik padanya, dan menganggap itu merupakan pertanda bahwa Ethan juga jatuh cinta padanya. Sarah terus menghitung-hitung waktu untuk tak sabar segera bertemu dengan Ethan. Ia selalu berusaha melakukan apa saja untuk membuat Ethan merasa senang. 

Hingga saat Sarah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu, sembari memberikan kado berupa jam tangan mahal yang sangat diidamkan Ethan, kenyataan pahit harus ditelan oleh Sarah. Ternyata ia keliru. Ethan tak sedikitpun menaruh perasaan padanya. Sarah sedih. Dan ia makin hancur kala melalui media social Ethan mengumumkan bahwa Sarah – sanga gadis ‘menjijikkan’ – telah menyatakan cinta padanya, lalu dikomentari oleh puluhan teman Sarah dengan komentar-komentar yang amat pedih bagi Sarah. Saat itulah ia berharap waktu berhenti. Dan Sarah memilih bunuh diri sebagai cara untuk mewujudkan hal itu.

Dan Dor hadir untuk mereka, sebelum misi mereka tersebut benar-benar terpenuhi. Dor membuat mereka tercengang dan akhirnya sadar bahwa tidak seharusnya mereka berharap waktu tanpa batas, ataupun waktu berhenti, karna semuanya sudah sesuai takarannya masing-masing.



“Ada Sebabnya Tuhan membatasi hari-hari kita”
“Mengapa?”
“Supaya setiap hari itu berharga” (Hal. 288)

2 komentar:

  1. ngebayangin usia Dor yang panjang bikin mikir, dia ngapain aja ya di gua, hehe :D Ternyata emang waktu menjadi masalah yang sering dikeluhkan manusia ya, cha. Ada yang pengen dipercepat ada yang diperlambat. Padahal setiap waktu seharusnya disyukuri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi, di novel sih cuma dibilang si dor menagis, merenung dan meratap kan mbak kalo gak salah?
      Iya, menohok banget yaa... kita hobi banget ngitung2 waktu ampe lupa bersyukur atas waktu itu sendiri...

      Hapus