Pages

Rabu, 10 Agustus 2016

The Architecture Of Love: Setiap Bangunan Punya Cerita

 Judul Buku: The Architecture Of Love
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-2926-0
Tahun Terbit: 2016

The Architecture Of Love bercerita tentang Raia dan River. Mereka adalah dua orang yang sama-sama sedang terluka karena cinta, kemudia memutuskan untuk 'melarikan diri' ke New York untuk beberapa saat. Raia dan River bertemu saat pesta malam tahun baru yang digelar di apartemen adik River -- tempat River tinggal selama di New York -- yang merupakan teman Erin -- sahabat Raia yang ditumpanginya selama di Kota Megapolitan tersebut.

Ketidaksengajaan pertemuan kedua antara Raia dan River akhirnya membuat mereka sepakat membuat janji-janji pertemuan berikutnya. Meskipun dalam pertemuan-pertemuan tersebut tak lantas membuat mereka jadi saling tau banyak hal tentang diri mereka satu sama lain. Raia dan River hanya menghabiskan hari-hari jalan bersama mereka dengan mengunjungi tempat demi tempat di New York, lalu ketika menemukan tempat  yang cocok mereka memilih tenggelam dalam dunia mereka masing-masing. Raia yang seorang penulis dan sedang mengalami writer's block semenjak kegagalan cintanya tak henti mencoba menulis, dan River yang seorang arsitek selalu sibuk menggambar sketsa bangunan-bangunan yang ada di depannya sembari terus berusaha melupakan orang tercintanya.

Witing trisno jalaran soko kulino, begitu kata pepatah Jawa yang artinya permulaan cinta lantaran karna terbiasa. Dan pepatah itu sepertinya pas untuk mendefinisikan perjalanan Raia dan River. Meskipun perasaan sayang dan cinta mulai samar-samar membayang, Raia dan River tak serta-merta dengan mudah saling mengakui dan mengungkapkan. Mereka sama-sama tau bahwa memutuskan bersama tak semudah itu bagi mereka, karna mereka sama-sama masih dibayangi kisah cinta mereka masing-masing sebelumnya.

Lalu bagaimana akhirnya Raia dan River mengatasi perasaan mereka masing-masing? Siapa yang akhirnya berhasil mengalahkan ego untuk terlebih dahulu menyatakan perasaan? Silakan cari pinjaman novelnya (seperti saya *ups*) =))

Ini kali kedua saya membaca novel karya Ika Natassa yang konon sama-sama terjual ribuan eksemplar sejak masih PO. Yang pertama adalah Critical Eleven. Secara keseluruhan, The Architecture Of Love ini punya kemiripan (atau malah kesamaan?) dari cara berceritanya. Mungkin memang cara bercerita seperti itu ciri khas Ika Natassa, ya? Dan saya suka dengan gaya berceritanya. Ika Natassa seperti punya cara untuk membawakan cerita secara mengalir, namun terus menyeret rasa penasaran pembacanya dari halaman ke halaman. Alurnya yang loncat-loncat menjadikan novel ini seperti permainan puzzle yang sedikit demi sedikit tersusun dan membentuk sebuah 'gambar' utuh, tapi gak bikin pembaca bingung.
Jika saat membaca Critical Eleven saya sempat sebel pada konflik Anya dan Ale yang menurut saya terlalu membesar-besarkan masalah yang gak seharusnya sampai sebegitunya, di The Architecture Of Love ini konfliknya menurut saya jauh lebih bisa diterima oleh logika dan ego saya.  Ika Natassa juga punya cara unik untuk membuat tokoh-tokoh dalam novelnya seolah benar-benar hidup. Bagi yang sudah pernah membaca novel Critical Eleven seperti saya, akan merasa 'surpraise' karna kembali bertemu dengan Anya, Ale dan Haris. Karna Raia ternyata adalah saudara sepupu Haris dan Ale. Keren, ya?! Menurut saya Ika Natassa berhasil sekali 'membuatkan dunia' untuk para tokoh yang ia ciptakan -- dan gak hanya tokoh novel yang tengah ia garap, tapi juga tokoh di novel yang sebelumnya pun tak ia biarkan mati begitu saja di benak para pembacanya.

Satu lagi yang keren dari karya Ika Natassa adalah kedalaman pengetahuannya tentang profesi-profesi tokohnya. Ia memaparkan banyak sekali teori, pendapat atau sekedar ucapan dari tokoh-tokoh yang terkait dengan profesi tokohnya, yang menjadikan profesi si tokoh gak hanya sekedar tempelan. Saya bertanya-tanya,seberapa lama ia melakukan riset sebelum menuliskan sebuah novel?!

Akhir kata, 4,5 dari 5 bintang untuk novel ini. 0,5-nya untuk menandakan saja bahwa gak ada yang sempurna di dunia ini selain Allah. Hehe.

Postingan ini diikutsertakan dalam Project Battle Challenge #31HariBerbagiBacaan

Minggu, 27 Maret 2016

Review Buku: Jelajah Ujung Barat Indonesia Banda Aceh dan Sabang

Judul buku: Jelajah Ujung Barat Indonesia Banda Aceh Sabang
Penulis: Muna Sungkar
Penerbit: Gramediana, Elex Media Komputindo
No. ISBN: 978-602-02-7574-1
Halaman: 170

Apa yang terbayang di benak teman-teman saat mendengar Banda Aceh? Apakah dahsyatnya gelombang tsunami yang menerjang pulau tersebut beberapa tahun lalu? Apakah kota yang luluh-lantak dan warga yang penuh isak-tangis? Atau bahkan kota dengan konflik berkepanjangan lantaran adanya Gerakan Aceh Merdeka?

Lalu apa yang terbayang di benak teman-teman saat mendengar Kota Sabang disebut? Apakah teman-teman seketika teringat lirik sebuah lagu nasional, yang sering kita dendangkan saat masih sekolah dulu? 'Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau...'

Kalau saya, ya... Hal-hal tersebut di ataslah yang seketika terbayang di benak saya ketika mendengar nama Banda Aceh dan Sabang. Tapi itu dulu, sebelum saya memegang lalu membaca habis buku karya Mbak Muna Sungkar yang berjudul Jelajah Ujung Barat Indonesia Banda Aceh Sabang ini. Ini adalah kali pertama saya membaca buku bergenre Traveling. Dan saya baru tahu bahwa buku traveling bisa membuat kita amat tergelitik dan ingin sekali bisa mengunjungi destinasi-destinasi yang dipaparkan dalam buku.

Buku Jelajah Ujung Barat Indonesia Banda Aceh Sabang ini terdiri dari beberapa bab dan banyak sub-bab. Di empat bab awal, Mbak Muna Sungkar memaparkan tentang traveling di Banda Aceh. Tak hanya destinasi-destinasi pariwisatanya, Mbak Muna juga memaparkan secara lengkap tentang berbagai kuliner andalan di Banda Aceh yang wajib dicoba oleh para traveler, hingga berbagai alternatif transportasi yang bisa dipilih saat kita hendak traveling ke sana.

Sebelum menyuguhkan berbagai destinasi wisata pada kita, Mbak Muna tidak lupa menjelaskan bagaimana rute yang harus kita tempuh untuk sampai ke Nangroe Aceh Darussalam maupun ke Sabang. Tak hanya berbagai pilihan moda transportasinya, hingga jadwal dan tarifnya pun tak luput diinformasikan oleh Mbak Muna melalui buku ini.

Pada Sub-bab tentang Aceh, Mbak Muna mengelompokkan jenis wisata di Bumi Serambi Mekkah itu menjadi tiga, yaitu wisata sejarah, wisata tsunami dan wisata alam. Wisata sejarah di antaranya ada Masjid Baiturrahman, Gunongan dan Museum Aceh (Hal. 26-39). Wisata tsunami terdiri dari Museum Tsunami, PLTD Kapal Apung dan Kapal di Atas Rumah (Hal 40-52). Sedangkan wisata alam didominasi oleh berbagai pantai yang amat indah dan beberapa diantaranya merupakan spot diving terbaik dunia (Hal. 52-65). Dan yang tidak boleh ketinggalan tentu saja tentang wisata kuliner. Buku ini amat lengkap menyuguhkan pada kita review berbagai menu khas Aceh (Hal. 66-80) dan Sabang (Hal. 115-120) yang bisa kita jadikan referensi. Lagi-lagi lengkap dengan alamat lokasi dan harganya.

Semua destinasi wisata dalam buku ini dilengkapi dengan semacam catatan kaki yang diberi judul 'How to Get There', yang menjelaskan tentang pilihan transportasi yang bisa kita pilih untuk menuju destinasi tersebut. Sayangnya, saya menemukan kesalahan cetak di bagian ini. Kesalahan tersebut terletak di halaman 55 dan 57, yang mengulang 'How to Get There' Pantai Lampuuk, padahal seharusnya adalah Pantai Lhol Nga dan Ujong Batee.

Buku ini juga menerangkan bahwa meskipun Nangroe Aceh Darussalam memberlakukan penegakan syari'at Islam dalam tata kehidupan masyarakatnya, namun pemberlakuannya pada wisatawan tentu saja tidak seketat pada warga asli Aceh (Hal. 11). Salah satunya, bagi traveler wanita, tidak diwajibkan memakai jilbab, kecuali jika hendak mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman (Hal. 26).

Memasuki Bab tentang Sabang, kita juga akan disuguhi berbagai destinasi wisata menarik, yang didominasi dengan wisata laut. Salah satunya adalah Pantai Iboih, yang disebut Mbak Muna sebagai potongan surga yang jatuh ke bumi -- saking indahnya (Hal. 97). Salah satu yang menjadi andalan Kota Sabang ini adalah keindahan bawah lautnya. Maka, banyak penginapan di Kota Sabang yang menyediakan fasilitas untuk diving atau snorkeling, bahkan paket untuk island hopping. Dalam buku ini, Mbak Muna memberikan info tentang berbagai pilihan penginapan yang menyediakan fasilitas tersebut, lengkap dengan rate-nya (Hal. 99). Satu lagi yang tak boleh dilewatkan saat tengah mengunjungi Sabang tentu saja adalah Tugu Nol Kilometer Indonesia, yang merupakan landmark dan objek wisata andalan kota Sabang (Hal. 95)

Buku Jelajah Ujung Barat Indonesia Banda Aceh Sabang ini, meskipun kecil namun amat sarat dengan informasi. Mbak Muna memberikan info yang sangat lengkap, mulai dari berbagai pilihan penginapan, tarif, lokasi dan macam-macam moda transportasi beserta jadwalnya. Bahkan Mbak Muna juga menyertakan beberapa contact person orang-orang yang bisa kita hubungi jika hendak berwisata ke Ujung Barat Indonesia. Tidak hanya itu, Mbak Muna juga memberikan contoh itinerary untuk kita yang hendak berwisata ke Banda Aceh dan Sabang, agar bisa memanfaatkan waktu dengan baik dan maksimal (Hal. 151-166).

Satu kekurangan buku ini yang cukup saya sayangkan. Yaitu, foto-foto yang menghiasi hampir setiap sub-bab, yang sayangnya dicetak hitam-putih alias tidak berwarna. Hal itu membuat pembaca tidak bisa mendapat gambaran dari foto yang disajikan. Padahal, saya yakin jika foto-foto tersebut dicetak berwarna, pastilah buku ini menjadi semakin menarik. Hikmahnya, gara-gara foto yang tidak berwarna tersebut, rasa penasaran saya jadi tergelitik. Dan akhirnya saya menuntaskan rasa penasaran saya dengan melihat gambar-gambar tempat yang dipaparkan oleh Mbak Muna melalui Google. Hehe.

Jadi, tidak tergelitikkah kita mengunjungi potongan surga yang jatuh ke Bumi Indonesia? Buku ini benar-benar menyadarkan saya, bahwa Indonesia memiliki destinasi wisata yang sama sekali tak kalah indah dengan negara-negara lain.

Bagi teman-teman yang hendak (atau baru punya keinginan) berwisata ke kawasan Ujung Barat Indinesia -- Aceh dan Sabang -- buku ini rasanya wajib teman-teman miliki sebagai buku saku. Saya jamin buku Jelajah Ujung Barat Indonesia Banda Aceh Sabang akan menjadi teman perjalanan yang sangat banyak membantu.