Pages

Rabu, 26 Maret 2014

London: Terbius Perasaan Gilang


Saat baru akan memulai membaca novel London ini, saya sedikit deg-degan. Pertama, karna ekspekstasi saya sudah lumayan cenderung tinggi gegara sudah cukup sering baca review novel karya Windry Ramadhina yang banyak menuai puja-puji. Yup! Ini pertama kali saya baca karyanya beliau.


Nah, saya beberapa kali merasa kecewa kalo sudah masang ekspektasi tinggi atas sebuah buku gitu, saya jadi underestimate di bab-bab awal novel London ini. apalagi temanya (lagi-lagi) soal jatuh cinta sama sahabat. Saya juga sempat bertanya-tanya di mana istimewanya, sih? Yah, tapi ternyata saya nggak boleh begitu saja ‘menghakimi’ novel ini sebelum saya benar-benar menuntaskannya hingga halamn terakhir.

Dan, taraaa… seiring halaman demi halaman yang saya lampaui, saya seperti di hipnotis perlahan-lahan, lalu benar-benar hanyut pada kisah ‘pengejaran cinta’ Gilang atas Ning hingga ke London itu. Nggak tahu, ya… kok saya bisa sebegitu terbawanya sama perasaan Gilang. Padahal kalo boleh jujur, London bukan tipe novel yang selama ini sering menjadi pilihan saya. Saya benar-benar seperti turut merasakan resahnya Gilang yang sama sekali nggak mampu melihat ‘petunjuk’ dari sikap Ning atas perasaannya padanya, frustasinya Gilang yang galau antara ingin memiliki Ning tapi juga takut kalo justru nanti harus kehilangan Ning, juga sesaknya saat ia akhirnya mampu menangkap dengan jelas perasaan Ning.

Yang istimewa – menurut saya – meskipun konflik utama dalam novel ini cenderung mainstream, tapi ada konflik lain yang membuatnya jadi sama sekali nggak mainstream. Apalagi kalo bukan ‘kehadiran’ si gadis goldilocks pemilik payung merah yang menjadi ‘wasilah’ beberapa keajaiban cinta beberapa tokoh dalam novel ini. Agak nggak logis sih, tapi sama sekali nggak bikin jadi nggak menarik, justru membuat sangat menarik dan penasaran. Yang menarik lagi dari London, penulis nggak cuma menyajikan satu cerita – tentang Gilang dan Ning – saja, tapi juga menyuguhi kita dengan cerita-cerita sisipan yang nggak kalah menarik dengan cerita utama. Salah satunya adalah cerita tentang Mr. Lowesley dan Madam Ellin. Dan asal tahu saja, ending London tu simple, nggak ‘drama’, tapi sama sekali nggak terduga dan sangat keren. Hihi, suka pokoknya!

Kalaupun ada kekurangan yang saya catat dari novel London ini, sama sekali bukan dari dalam novel ini sendiri, tapi semata karna pribadi saya sendiri. Yup! Saya memang cenderung kurang nyaman saat membaca novel yang gaya hidupnya kebarat-baratan gitu. Alcohol, kissing, dll. Tapi di sisi lain saya sadar harus mulai membuka wawasan bacaan saya lebih luas lagi – dengan nggak cuma berkutat sama genre yang ‘gitu-gitu’ aja. Oh ya, saya juga cukup dibikin pusing sama istilah-istilah soal seninya dan nama-nama penulis legendaris yang asing di telinga saya. Haha, salah sendiri aku kuper!

Intinya, novel London sama sekali nggak bikin saya kecewa, dan membuat saya ingin ‘mencicipi’ karya-karya Windry Ramadhina yang lainnya. Emm, oh ya… tambahan sedikit, saya paling nyesek di bagian ketika Gilang menvadari bahwa Ning ternyata bermalam di The Piper, dan saat Ning berkata, “Aku beruntung dicintai sahabatku”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar